Merokok Pada
Remaja Putri
Oleh :
Setiawan, S.H, M.Kes
Pada remaja saat ini, merokok merupakan suatu pemandangan yang sangat tidak
asing. Kebiasaan merokok dianggap dapat memberikan kenikmatan bagi perokok,
namun di lain pihak dapat menimbulkan dampak buruk bagi perokok sendiri maupun
orang-orang disekitarnya. Berbagai kandungan zat yang terdapat di dalam rokok
memberikan dampak negatif pada tubuh penghisapnya. Beberapa motivasi yang
melatar belakangi merokok adalah untuk mendapat pengakuan (anticipatory
beliefs) untuk menghilangkan kekecewaan (reliefing beliefs) dan
menganggap perbuatannya tersebut tidak melanggar norma (permission
beliefs/positive) (Joemana, 2004). Hal ini sejalan dengan kegiatan merokok
yang dilakukan oleh remaja yang biasanya dilakukan di depan orang lain,
terutama dilakukan di depan kelompoknya karena mereka sangat tertatik kepada
kelompok sebayanya atau dengan kata lain terikat dengan kelompoknya.
Masa remaja bisa jadi masa di mana individu mengkonsumsi rokok. Smet (1994)
berpendapat bahwa usia pertama kali merokok umumnya berkisar antara usia 11-13
tahun dan mereka pada umumnya merokok sebelum usia 18 tahun. Usia tersebut
dapat dikategorikan termasuk dalam rentangan masa remaja. Lebih jauh lagi Data
WHO mempertegas bahwa remaja memiliki kecenderungan yang tinggi untuk merokok,
data WHO menunjukkan bahwa dari seluruh jumlah perokok yang ada di dunia sebanyak
30% adalah kaum remaja (Republika, 1988).
Terdapat banyak alasan yang melatarbelakangi remaja untuk merokok. Secara
umum berdasarkan kajian Kurt Lewin, merokok merupakan fungsi dari lingkungan
dan individu. Artinya, perilaku merokok selain disebabkan dari faktor
lingkungan juga disebabkan oleh faktor diri atau kepribadian.
Faktor dalam diri remaja dapat dilihat dari kajian perkemangan remaja.
Remaja mulai merokok dikatakan oleh Erikson (Gatchel, 1989) berkaitan dengan
adanya krisis aspek psikososial yang dialami pada masa perkembangannya yaitu
masa ketika mencari jati diri. Dalam masa remaja ini sering terjadi
ketidaksesuaian antara perkembangan psikis dan perkembangan sosial. Upaya-upaya
untuk menemukan jati diri tersebut tidak selalu dapat berjalan sesuai dengan
harapan masyarakat. Beberapa remaja melakukan perilaku merokok sebagai cara
kompensatoris. Seperti yang dikatakan oleh Brigham (1991) yang dikutip oleh
Helmi, bahwasanya perilaku merokok bagi remaja merupakan perilaku simbolisasi.
Symbol dari kematangan, kekuatan, kepemimpinan, dan daya tarik terhadap lawan
jenis.
Merokok bagi sebagian remaja merupakan perilaku proyeksi dari rasa sakit
baik psikis maupun fsik. Walaupun di sisi lain, saat pertama kali mengkonsumsi
rokok dirasakan ketidakenakkan. Hal ini sejalan dengan perkataan Helmi yang
berpendapat bahwa saat pertama kali mengkonsumsi rokok, kebanyakan remaja
mungkin mengalami gejala-gejala batuk, lidah terasa getir, dan perut mual.
Namun demikian, sebagian dari para pemula tersebut mengabaikan pengalaman
perasaan tersebut, biasanya berlanjut menjadi kebiasaan dan akhirnya menjadi
ketergantungan. Ketergantungan ini dipersepsikan sebagai kenikmatan yang
memberikan kepuasan psikologis. Sehingga tidak jarang perokok mendapatkan
kenikmatan yang dapat menghilangkan ketidaknyamanan yang sedang dialaminya.
Gejala ini apat djelaskan dari konsep tobacco dependency (ketergantungan
rokok). Artinya, perilaku merokok meruakan perilaku menyenangkan dan dapat
menghilangkan ketidaknyamanan dan bergeser menjadi aktivitas yang bersifat
obsesif. Hal ini disebabkan sifat nikotin aalah adiktif dan anti-depressan,
jika dihentikan tiba-tiba akan menimbulkan stress.
Secara manusiawi, orang cenderung untuk menghindari ketidakseimbangan dan
lebih senang mempertahankan apa yang selama ini dirasakan sebagai kenikmatan
sehingga dapat dipahami apabila para perokok sulit untuk behenti merokok.
Klinke & Meeker (dalam Aritonang, 1997) mengatakan bahwa motif para perokok
adalah relaksasi. Dengan merokok dapat mengurangi ketegangan, memudahkan
berkonsentrasi, pengalaman yang menyenangkan dan relaksasi.
Seperti yang diungkapkan Levethal & Clearly dalam Cahyani dan dikutip
kembali oleh Helmi bahwasanya terdapat empat tahap dalam perilaku merokok
sehingga menjadi perokok, yaitu:
- Tahap Preparatory. Seseorang yang mendapatkan gambaran yang
menyenangkan mengenai merokok dengan cara mendengar, melihat, atau dari
hasil bacaan. Hal-hal ini menimbulkan minat untuk merokok.
- Tahap Initiation. Tahap perintisan merokok yaitu tahap seseorang
meneruskan untuk tetap mencoba-coba merokok.
- Tahap becoming smoker. Apabila seseorang telah mengkonsumsi
rokok sebnayak empat batang perhari maka seseorang tersebut mempunyai
kecenderungan menjadi perokok.
- Tahap maintenance of smoking. Tahap ini merokok sudah menjadi
salah satu bagian dari cara pegaturan diri (self regulating). Merokok
dilakukan untuk memperoleh efek fisiologis yang menyenangkan.
Selain faktor perkembangan remaja dan kepuasan psikologis, masih banyak
faktor dari luar individu yang berpengaruh pada proses pembentukkan perilaku
merokok. Pada dasarnya perilaku merokok adalah perilaku yang dipelajari. Hal
itu berarti terdapat pihak-pihak yang berpengaruh besar dalam proses
sosialisasi.
Konsep sosialisai pertama berkembang dari Sosiologi dan dan Psikologi
Sosial merupakan suatu proses transmisi nilai-nilai, sistem belief, sikap
ataupun perilaku-perilakunya dari generasi sebelumnya kepada generasi
berikutnya (Durkin dalam Helmi). Adapun tujuan sosialisasi ini adalah agar
generasi berikutnya mempunyai sistem nilai yang sesuai dengan tututan norma
yang diinginkan kelompok, sehingga individu dapat diterima dalam kelompok.
Dalam kaitannya dengan perilaku merokok, pada dasarnya hamper tidak ada orang
tua yang menginginkan anaknya untuk menjadi perokok, bahkan masyarakat tidak
menuntut anggota masyarakat untuk menjadi perokok, namun demikian dalam kaitan
ini secara tidak sadar, ada beberapa agen yang merupakan model dan penguat bagi
perokok remaja.
Agen sosialisasi perilaku merokok pada remaja dapat merupakan orang tua
maupun teman sebaya. Dengan merujuk konsep transmisi perilaku, bahwa pada
dasarnya perilaku dapat ditransmisikan melalui transmisi vertical dan
horizontal (Berry dkk, 1992). Transmisi vertical dapat dilakukan oleh orang tua
dan transmisi horizontal dilakukan oleh teman sebaya.
Namun bagaimanapun latarbelakang remaja melakukan perilaku mengkonsumsi
merokok tetap saja merokok sebagai salah satu bentuk adiksi yang harus
dieliminir. Dalam hal ini remaja di sekolah merupakan subjek layanan profesi
bimbingan dan konseling yang harus segera diberi bantuan. Kendatipun perilaku
merokok pada remaja dilatarbelakangi lingkungan dan keprbadian, tetapi fokus
bantuan konseling yang memandirikan adalah membantu individu untuk memiliki
kepribadian sehat dan interdependen terhadap lingkungan.
Perilaku Merokok pada Remaja
Merokok merupakan overt behavior dimana perokok menghisap gulungan
tembakau. Hal ini seperti dituliskan dalam KBBI merokok adalah menghisap
gulungan tembakau yang dibungkus dengan kertas (Kamus Besar Bahasa Indonesia
(1990: 752). Lebih jauh lagi Poerwadarminta dalam Kemala (2007: 9)
mendefinisikan merokok sebagai menghisap rokok, dan rokok didefinisikan sebagai
gulungan tembakau yang berbalut daun nipah atau kertas. Fakhrurrozi
mengidentifikasi merokok sebagai overt behavior karena merokok merupakan
perilaku yang nampak. Sebagai overt behavior merokok merupakan perilaku yang
dapat terlihat karena ketika merokok individu melakukan suatu kegiatan yang
nampak yaitu menghisap asap rokok yang dibakar ke dalam tubuh, hal ini senada
dengan pendapat Armstrong dalam Kemala (2007: 10) merokok adalah menghisap asap
tembakau yang dibakar ke dalam tubuh dan menghembuskannya kembali keluar.
Merokok merupakan kegiatan yang meyebabkan efek kenyamanan. Rokok memiliki antidepressant
yang menimbulkan efek kenyamanan pada perokok. Walaupun perilaku merokok
merupakan perilaku yang berbahaya bagi kesehatan karena terdapat sekitar 4000
racun dalam sebatang rokok.
Merokok sebagai gangguan obsesif kompulsif. orang yang mengalami gangguan
ini memiliki obsesi atau kompulsi yang menetap. Obsesi adalah pikiran, ide atau
citra yang terus menerus berulang secara tidak terkendali dan mendominasi
kesadaran seseorang. Kompulis adalah dorongan untuk melakukan tindakan
stereotip dengan tujuan yang umumnya tidak realistik yaitu menghilangkan
sistuasi yang menimbulkan ketakutan. Upaya untuk menolak kompulsi menimbulkan
ketegangan yang sangat besar sehingga individu biasanya menyerah dan
melakukannya.
Merokok sebagai ganggguan kesehatan dan jiwa. Merokok berkaitan erat dengan
disabilitas dan penurunan kualitas hidup. Dalam sebuah penelitian di Jerman
sejak tahun 1997-1999 yang melibatkan 4.181 responden, disimpulkan bahwa
responden yang memilki ketergantungan nikotin memiliki kualitas hidup yang
lebih buruk, dan hampir 50% dari responden perokok memiliki setidaknya satu
jenis gangguan kejiwaan. Selain itu diketahui pula bahwa pasien gangguan jiwa
cenderung lebih sering menjadi perokok, yaitu pada 50% penderita gangguan jiwa,
70% pasien maniakal yang berobat rawat jalan dan 90% dari pasien-pasien
skizrofen yang berobat jalan (Pikiran Rakyat).
Perilaku merokok dipengaruhi perasaan negative. Menurut Silvan &
Tomkins (Muta’din: 2002) banyak orang yang merokok untuk perasaan negative
dalam dirinya. Misalnya merokok bila marah, cemas, gelisah, rokok dianggap
sebagai penyelamat. Mereka menggunakan rokok bila perasaan tidak enak terjadi,
sehingga terhindar dari perasan yang tidak enak.
Perilaku merokok pada remaja merupakan perilaku transmisif. Dari penelitian
Helmi dan Komalasari (2000) didapatkan kesimpulan bahwa perilaku merokok
merupaka perilaku yang dipelajari dan ditularkan melalui aktivitas teman sebaya
dan perilaku permisif orang tua.
Perilaku merokok didorong oleh nilai-nilai dalam diri remaja. Beberapa
motivasi yang melatar belakangi merokok adalah untuk mendapat pengakuan (anticipatory
beliefs) untuk menghilangkan kekecewaan (reliefing beliefs) dan
menganggap perbuatannya tersebut tidak melanggar norma (permission
beliefs/positive) (Joemana, 2004).
Jadi dapat disimpulkan bahwa perilaku merokok pada remaja adalah kegiatan
kompulsif dengan menghisap asap yang berasal dari gulungan tembakau yang
dibakar untuk mendapatkan kepuasan fisiologis dan sosiologis dan juga upaya
eliminasi perasaan negative yang ada dalam diri remaja yang banyak dipelajari
dari lingkungan teman sebaya dan didorong oleh keinginan mendapat pengakuan (anticipatory
beliefs) untuk menghilangkan kekecewaan (reliefing beliefs) dan
menganggap perbuatannya tersebut tidak melanggar norma (permission
beliefs/positive).
Latar Belakang Perilaku Merokok dan Kecanduan Merokok Pada Remaja
Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi seseorang untuk merokok. Hansen
dalam Kemala (2008) berpendapat bahwa faktor yang mempengaruhi perilaku merokok
yaitu: Faktor biologis, faktor psiklogis, faktor lingkungan sosial, faktor
demografis, faktor sosial-kultural,faktor sosial politik. Namun pada remaja
yang paling mempengaruhi perilaku merokok adalah:
Pengaruh Orang Tua
Salah satu temuan remaja perokok adalah bahwa anak-anak muda yang berasal
dari rumah tangga yang tidak bahagia, dimana orang tua tidak begitu
memperhatikan anak-anaknya dan memberikan hukuman fisik yang keras lebih mudah
untuk menjadi perokok dibanding anak-anak muda yang berasal dari lingkungan
rumah tangga yang bahagia (Baer & Corado dalam Atkinson, Pengantar
Psikologi, 1999 : 292) Ditemukan juga oleh Helmi dan Komalasari (online) bahwa
sikap permisif orang tua memiliki korelasi yang signifikan dengan perilaku
merokok pada remaja.
Pengaruh Teman
Berbagai fakta mengungkapkan bahwa semakin banyak remaja merokok maka
semakin besar kemungkinan teman-temannya adalah perokok juga dan demikian
sebaliknya. Dari fakta tersebut ada dia kemungkinan yang terjadi, Pertama,
remaja terpengaruh oleh teman-temannya atau bahkan teman-teman remaja tersebut
dipengaruhi oleh diri remaja tersebut yang akhirnya mereka semua menjadi
perokok. Diantara remaja perokok terdapat 87% mempunyai sekurang-kurangnya satu
atau lebih sahabat yang perokok begitu pula dengan remaja non perokok, (Al.
Bachri, 1991).
Kepribadian
Proyeksi
Remaja merokok karena alasan ingin tahu atau ingin melepaskan diri dari
rasa sakit fisik atau jiwa membebaskan diri dari kebosanan. Menurut Teddy
Hidayat, (Pikiran Rakyat: 2007) remaja yang berisiko tinggi adalah
remaja-remaja yang memiliki sifat pemuasaan segera, kurang mampu menunda
keinginan, merasa kosong dan mudah bosan, mudah cemas, gelisah, dan depresif.
Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian dari CASA (Columbian University`s
National Center On Addiction and Substance Abuse), remaja perokok memiliki
risiko dua kali lipat mengalami gejala-gejala depresi dibandingkan remaja yang
tidak merokok. Para perokok aktif pun tampaknya lebih sering mengalami serangan
panik dari pada mereka yang tidak merokok Banyak penelitian yang membuktikan
bahwa merokok dan depresi merupakan suatu hubungan yang saling berkaitan.
Depresi menyebabkan seseorang merokok dan para perokok biasanya memiliki
gejala-gejala depresi dan kecemasan (ansietas).
Rasa keingintahuan
Pada remaja perkembangan kognisi menuntut rasa keingintahuan yang sangat
besar. Seiring pula dengan hal itu kognisi sosial pada remaja berkembang pula,
sehingga remaja sering melakukan kegiatan coba-coba yang didukung oleh
pergaulan.
Kompensasi rasa kurang percaya diri
Rasa kurang percaya diri pada remaja dimanifestasikan dengan berbagai cara
baik dengan cara positif maupun negatif. Cara yang positif untuk membangun rasa
percaya diri yaitu dengan menciptakan definisi diri positif, memperjuangkan
keinginan yang positif, mengatasi masalah secara positif, memiliki dasar
keputusan yang positif. Sedangkan cara yang negatif untuk membangun rasa
percaya diri yaitu sulit menerima realita diri (terlebih menerima kekurangan
diri) dan memandang rendah kemampuan diri sendiri namun di lain pihak memasang
harapan yang tidak realistik terhadap diri sendiri. Cenderung melakukan
tindakan negatif yaitu dengan merokok, sehingga dengan menggunakan zat tersebut
remaja cenderung lebih merasa percaya diri (Jacinta, 2002). Hal ini dibuktikan
dengan hasil penelitian Haryono (2007) bahwasanya Terdapat korelasi antara
Ketergantungan Merokok dengan Percaya Diri, (r = -0,90 p < 0,05).
Artinya semakin tinggi tingkat ketergantungan merokok, maka semakin rendah
tingkat percaya diri.
Dinamika Psikologis Perilaku Merokok Pada Remaja
Levethal & Clearly dalam Cahyani dan dikutip kembali oleh Helmi dan
Komalasari (2000) berpendapat bahwasanya terdapat empat tahap dalam perilaku
merokok sehingga menjadi perokok, yaitu: tahap preparatory, tahap initiation,
tahap becoming smoker dan tahap maintenance for smoke.
Tahap Preparatory
Tahap preparatory merupakan tahap dimana remaja sering mendapatkan model
yang menyenangkan dari lingkungan dan media. Remaja yang mendapatkan gambaran
yang menyenangkan mengenai merokok dengan cara mendengar, melihat, atau dari
hasil bacaan menimbulkan minat untuk merokok.
Yang biasanya menjadi life-model paling utama bagi remaja adalah
teman sebaya hal ini terbukti dengan berbagai fakta yang mengungkapkan bahwa
semakin banyak remaja merokok maka semakin besar kemungkinan teman-temannya
adalah perokok juga dan demikian sebaliknya, biasanya remaja menularkan
perilaku merokok dengan cara menawari teman-teman remaja lainnya dengan
menjanjikan kenikmatan merokok, atau dalih solidaritas kelompok. Dari
teman sebaya ini kemudian remaja yang belum merokok menginterpretasi bahwasanya
dengan merokok dia akan mendapatkan kenyamanan, dan atau dapat diterima
kelompok, dari hasil interpretasi tersebut kemungkinan remaja membentuk dan memperkokoh
anticipatory beliefs yaitu belief yang mendasari bahwa remaja
membutuhkan pengakuan teman sebaya.
Life-model lainnya yang mungkin berpengaruh pada perilaku merokok pada
remaja adalah orang tua. Orang tua yang merokok kemungkinan berdampak besar pada
pembentukkan perilaku merokok pada remaja. Hal tersebut membuat permission
belief remaja. Interpretasi remaja yang mungkin terbentuk adalah bahwasanya
merokok tidak berbahaya, tidak melanggar peraturan dan norma. Hasil dari
interpretasi tersebut memungkinkan terbentuknya permission belief system.
Model lainnya yang mungkin berpengaruh pada pembentukkan perilaku merokok
adalah media masa.
Tahap Initiation
Tahap perintisan merokok yaitu tahap seseorang meneruskan untuk tetap
mencoba-coba merokok. Setelah terbentuk interpretasi-interpretasi tentang model
yang ada, kemudian remaja mengevaluasi hasil interpretasi tersebut melalui
perasaan dan perilaku. Evaluasi perasaan yang mungkin terbentuk adalah “saya
akan hancur apabila teman-teman lain merokok dan saya tidak, mungkin mereka
akan menjauhi, saya akan hancur”, maka evaluasi perilaku yang remaja lakukan
adalah mencoba-coba untuk merokok. Biasanya kegiatan coba-coba ini hanya
dilakukan dengan intensitas yang rendah dan hanya pada waktu-waktu tertentu.
Helmi dan Komalasari (2000: 9) membuktikan bahwa perilaku merokok pada remaja
sebanyak 27,96 % dilakukan ketika berkumpul bersama teman-teman.
Tahap becoming smoker
Menurut Levethal & Clearly Tahap becoming smoker merupakan tahap
dimana seseorang telah mengkonsumsi rokok sebanyak empat batang perhari maka
seseorang tersebut mempunyai kecenderungan menjadi perokok. Hal ini didukung
dengan adanya kepuasan psikologis dari dalam diri, dan terdapat reinforcement
positif dari teman sebaya.
Untuk memperkokoh perilaku merokok, paling tidak terdapat kepuasan
psikologis tertentu yang diperoleh ketika remaja merokok. Kepuasan psikologis
merokok dijelaskan Helmi dan Komalasari (2000: 11) sebagai akibat atau efek
yang diperoleh dari merokok yang berupa keyakinan dan perasaan yang
menyenangkan. Hasil penelitian Helmi & Komalasari membuktikan bahwa
kepuasan psikologis memberikan sumbangan yang besar sebanyak 40,9 % terhadap
perilaku merokok remaja. Hal ini memberikan gambaran bahwa perilaku merokok
bagi remaja dianggap memberikan kenikmatan dan menyenangkan. Berikut hasil
penelitian Helmi dan Komalasari mengenai perasaan-perasaan remaja saat merokok
dan setelah merokok.
Efek
|
%
|
Nikmat
|
38,298
|
Puas
|
15,957
|
Tenang
|
12,766
|
Biasa saja
|
11, 703
|
Santai
|
5, 139
|
Hangat
|
3, 192
|
Percaya diri
|
2, 128
|
Gaya
|
1,064
|
Masalah hilang
|
1,064
|
Mengantuk
|
1,064
|
Pusing
|
5,257
|
Pahit
|
2, 218
|
(Helmi & Komalasari: 2000)
Selain mendapatkan kepuasan psikologis reinforcement positif dari teman
sebaya merupakan faktor yang menentukan bagi remaja untuk merokok. Penelitian
Harlianti (1988), Helmi dan Komalasari (2000) membuktikan bahwa lingkungan
sebaya memberikan sumbangan yang besar terhadap perilaku merokok pada remaja.
Ligkungan teman sebaya memiliki arti yang penting bagi remaja. Kebutuhan untuk
diterima dan usaha untuk menghindari penolakan teman sebaya merupakan kebutuhan
yang sangat penting pada remaja. Remaja menurut Brigham dalam Helmi (2000)
tidak ingin dirinya disebut banci atau pengecut. Merokok bagi remaja merupakan
simbolisasi atas kejantanan, kekuasaan dan kedewasaan.
Bisa jadi symbol kedewasaan, kejantanan dan kekuasaan merupakan hasil
evalauasi proses kognisi atas interpretasi remaja terhadap orang tua yang
bertindak sebagai life-model merokok. Interpretasi tersebut kemudian
dievaluasi melalui perasaan dan tindakan. Evaluasi perasaan yang terbentuk
adalah “terlihat jantan, dewasa, dan berkuasa, akan sangat membanggakan”.
Tahap maintenance of smoking
Menurut Levethal & Clearly pada tahap ini merokok sudah menjadi salah
satu bagian dari cara pegaturan diri (self regulating). Merokok
dilakukan untuk memperoleh efek fisiologis yang menyenangkan. Individu yang
berada pada tahap ini telah merasakan betul kenikmatan dari merokok, merokok
dapat dilakukan sesering mungkin, pengharapan eliminasi kecemasan juga
dilakukan perokok pada tahap ini melalui meroko, selain itu rokok juga
digunakan sebagai penghindaran-penghindaran kecemasan dan upaya relaksasi bagi
perokok. Merokok dilakukan untuk menhilangkan rasa lelah, mengjhilangkan rasa
tidak enak ketika setelah makan, merokok ketika melakukan pekerjaan, merokok
ketika merasa terpojokkan, merokok ketika lelah berpikir, merokok ketika merasa
pusing dan lain-lain.
Tahap ini terjadi setelah keyakinan inti terbentuk, keyakinan inti tersebut
adalah keyakinan dengan merokok mendapatkan pengakuan dari teman sebaya (anticipatory
beliefs), merokokdapat memberikan kenikmatan dan menghilangkan kekecewaan
(reliefing beliefs), serta keyakinan bahwa merokok bukan suatu pelanggaran
norma (permission beliefs).
Selain itu perilaku permisif orang tua tentang bagaimana menyikapi remaja
yang merokok, dapat berpengaruh pada perilaku merokok remaja. Bila saja orang
tua berlaku tegas untuk tidak membiarkan anak remajanya untuk merokok maka tahap
maintenance of smoking ini akan ditekan atau dieliminir.