Pentingnya Ketahanan keluarga dalam Pencegahan
Perilaku LGBT
Hariyani Sulistyoningsih, S.KM., M.KM
Salah satu issue menarik yang ramai dibicarakan belakangan
ini adalah LGBT (Lesbi, Gay, Biseksual,
dan Transgender). Pro dan kontra terhadap perilaku ini terus bergulir,
sekelompok orang yang pro terhadap perilaku ini berupaya dengan berbagai cara,
menginginkan pengakuan, mendeklarasikan pada semua orang bahwa LGBT bukanlah
kondisi yang menyimpang dan karenanya harus diterima siapa saja dan dimana
saja. Sebagai warga negara yang baik, yang mencintai NKRI dan berharap
keberlangsungan negeri ini dengan segala keragaman dan kearifan
budanyanya, harus dapat memahami
permasalahan ini dengan baik agar dapat menyikapi sesuai hukum, norma, dan
agama yang berlaku di Indonesia pada khususnya. Perlu bagi kita memahami apa,
bagaimana dan dampak yang ditimbulkan dari perilaku LGBT, sehingga bisa
memandang masalah ini secara proporsional dan ketika akhirnya memutuskan
menjadi bagian yang kontra terhadap perilaku ini pun didasari oleh pemahaman
yang jelas.
Setidaknya ada 4 (empat) alasan utama penolakan LGBT dan mengkategorikannya sebagai perilaku yang
menyimpang (dari norma, nilai, budaya, hukum dan juga agama), yaitu: (1)
hubungan sesama jenis sangat jelas menyalahi
kondrat penciptaan manusia karena hubungan manusia normal adalah antara lelaki dan perempuan,
yang salah satu fungsinya adalah untuk melanjutkan keturunan. Jikalau hubungan
sejenis menjadi legal, bagaimanakah tatanan kehidupan manusia selanjutnya?
Tentunya manusia tidak akan memiliki keturunan sehingga akhirnya mengalami putus generasi, (2) LGBT melanggar
Pancasila, khususnya Sila Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa yang merupakan dasar
dalam kehidupan di masyarakat dalam berbangsa dan bernegara. (3) Pelaku LGBT
(yang tentunya adalah insan beragama), sudah tentu melanggar pasal 28 dan 29
UUD 1945 yang mengatur bahwa semua warga negara wajib untuk mematuhi ajaran
agama masing-masing yang dianutnya, termasuk mematuhi larangan untuk kawin
sesama jenis dan tentunga tidak ada satu pun agama yang melegalkan perilaku
kawin sesama jenis. (4) Munculnya dampak perilaku LGBT terhadap kesehatan. WHO
menyebutkan bahwa kaum Gay dan Transgender memiliki risiko 20 kali lebih besar untuk
tertular penyakit HIV/AIDS dibandingkan dengan populasi normal.
Tidak sedikit yang memahami bahwa menjadi LGBT bukanlah
pilihan mereka sendiri, tapi sesuatu yang terjadi secara alami, dan takdir dari
Ilahi. Padahal secara medis menyebutkan bahwa LGBT bukanlah kodrat dan bersifat
genetik sejak lahir, tapi ia adalah penyakit yang terjangkit pada seseorang
karena keadaan psikologis dan pengaruh lingkungan. Para psikolog juga
menegaskan bahwa LGBT merupakan bagian dari masalah kejiwaan dan tergolong
gangguan identitas gender (GIG) atau disebut juga dengan perilaku seksual
menyimpang (Davison, 2010). Maka sudah jelas bahwa LGBT merupakan perilaku
menyimpang, dan khususnya generasi muda harus membentengi diri agar tidak
terseret dan menjadi bagian dari komunitas LGBT. Apa yang bisa menjadi benteng
dari perilaku menyimpang ini?
Lingkungan adalah salah satu faktor yang erat kaitannya dengan LGBT, dan lingkungan
keluarga bisa menjadi pemicu seseorang bergabung dengan komunitas LGBT atau
memiliki perilaku LGBT. Keluarga merupakan benteng utama dan support utama yang
membentuk perilaku seseorang, keluarga dengan ketahanan keluarga yang baik adalah
hal yang mutlak diciptakan. Ketahanan keluarga merupakan kondisi dinamik suatu
keluarga yang memiliki keuletan dan ketangguhan serta mengandung kemampuan
fisik materiil dan psikis mental-spiritual guna hidup mandiri dan mengembangkan
diri serta keluarganya untuk hidup harmonis dalam meningkatkan kesejahteraan
lahir maupun kebahagiaan batin. Ketahanan keluarga dapat terbangun ketika
masing-masing anggota keluarga dapat menjalankan perannya dengan baik, termasuk
bagaimana orang tua bertanggung jawab kepada anak-anaknya sejak dini.
Ketahanan keluarga hanya dapat tercipta apabila sebuah keluarga
dapat melaksanakan fungsi keluarga secara serasi, selaras dan seimbang, yaitu
meliputi (1) Fungsi Keagamaan, (2) Fungsi Sosial-Budaya, (3) Fungsi Cinta
kasih, (4) Fungsi Melindungi, (5) Fungsi Reproduksi, (6) Fungsi Sosialisasi dan
Pendidikan, (7) Fungsi Ekonomi, (8) Fungsi Pembinaan Lingkungan. Sebuah
keluarga tidak akan pernah mencapai tahapan sejahtera apabila fungsi keluarga
tersebut berjalan tidak seimbang, ada fungsi yang tidak dapat dilaksanakan meskipun
fungsi lainnya berjalan secara maksimal. Tidak sedikit keluarga yang mampu
melaksanakan fungsi ekonomi, hidup serba berkecukupan, namun memiliki anak yang
bermasalah secara moral ataupun etika karena fungsi cinta kasih khususnya dari
orang tua tidak berjalan dikeluarga tersebut. Seorang anak yang kemudian
menjadi penyuka sesama jenis, bisa jadi karena memiliki keluarga yang fungsi
agama, sosialisasi, cinta kasih dan perlindungannya tidak berfungsi.
Pertanyaan berikutnya adalah, apa yang bisa dilakukan untuk
bisa mewujudkan ketahanan dalam sebuah keluarga juga menjalankan fungsi
keluarga secara maksimal. Pertama,
sebuah keluarga harus memiliki visi dan misi
yang jelas serta selaras antara
suami dan istri. Visi dan misi ini akan menentukan bagaimana memberikan
pendidikan pada anak, bagaimana memenuhi kebutuhan keluarga, dan menentukan
arah keluarga tersebut. Suami sebagai kepala keluarga memiliki peran penting
dalam menentukan visi dan misi keluarga dan tentunya harus sejalan dengan istri
sehingga memiliki kesamaan gerak dalam mewujudkan tujuan keluarga. Seluruh
anggota keluarga termasuk anak, harus memahami visi misi keluarga dan memiliki
persepsi yang utuh terhadap keluarga. Perbedaan visi antara suami dan istri
salah satunya dapat menyebabkan perbedaan pola dalam mendidik anak, yang bisa
melahirkan kebingungan pada anak, pemberontakan pada anak, dan pada akhirnya
menimbulkan gangguan psikologis yang bisa menjadi pintu masuk timbulnya
perilaku negatif pada anak.
Kedua, uapaya yang dibangun untuk mewujudkan ketahanan keluarga
adalah bekal agama yang cukup serta komitmen menjalankan nilai-nilai agama
dengan baik. Komitmen ini akan menjadi antibodi dari segala yang mengganggu
soliditas kehidupan rumah tangga.
Seluruh anggota keluarga mendapatkan bekal agama yang cukup dan
bersama-sama mengaplikasikan nilia-nilai agama dalam keseharian. Nilai-nilai
agama adalah nilai kebaikan yang bersifat universal, dan tidak ada nilai agama
yang mengajarkan kepada keburukan dan bertentangangan dengan kodrat, oleh
karena itu anggota keluaga yang memiliki bekal agama yang cukup diharapkan
memiliki benteng yang kuat untuk menepis ajakan ataupun pengaruh negatif
termasuk LGBT. Ketiga, ketahanan
keluarga dapat terwujud ketika masing-masing komponen keluarga bertanggung
jawab dalam menjalankan peran masing-masing secara seimbang. Orang tua
menjalankan perannya dengan baik, tidak hanya
memuhi kebutuhan ekonomi anak namun juga memenuhi kebutuhan cinta, kasih
sayang, perhatian dan pendidikan. Suami dan istri juga memahami dan menjalankan kewajiban dan perannya
masing-masing dengan baik. Demikian juga anak harus memposisikan dirinya dengan
baik sebagai anak yang harus menghormati kedua orang tuanya. Prinsip kemitraan dan kerja sama juga perlu
ditumbuhkan untuk membangun kebersamaan, baik dalam menyelesaikan pekerjaan
ataupun permasalahan dalam keluarga. Keempat,
menerapkan keterbukaan dan pola komunikasi yang baik disertai cinta dan kasih
sayang. Komunikasi adalah cara yang efektif dalam menyelesaikan masalah, selain
itu budaya saling menasihati, saling mengingatkan, juga perlu ditumbuhkan
sebagai kontrol terhadap masing-masing anggota keluarga, sekaligus bentuk
perhatian terhadap sesame anggota keluarga.
Tidak mudah untuk meuwujudkan ketahanan dalam sebuah
keluarga, namun hal ini adalah keniscayaan jika kita menginginkan generasi yang
tangguh. Masa depan negeri ini ada ditangan kita, estafeta kepemimpinan akan
berpindah dan generasi muda lah yang menjadi tumpuan. Generasi muda yang
diharapkan tentunya yang sehat, terbebas dari perilaku menyimpang (termasuk
LGBT) yang siap mengahadapi tantangan dan memiliki kompetensi professional. Tentunya
hanya generasi muda yang hidup dalam keluarga dengan ketahanan keluarga baik yang akan memiliki imunitas lebih tinggi
terhadap ancaman penyakit sosial, ajakan negatif, dan juga
perilaku menyimpang. Maka tidak ada pilihan lain bagi kita kecuali mengembalikan keluarga pada
fungsinya, mendorong para orang tua menjalankan perannya dengan baik, mendidik
para remaja dengan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhannya, memberikan
tuntunan yang baik dalam keseharian, juga memberikan tontonan positif yang
memberikan energi positif dalam menjalani aktifitas hariannya.